Jumat, 11 Juli 2008

Kesastraan

SOSIOLOGI SASTRA

Suatu Pemahaman Makna dan Posisi Karya Sastra

dalam Kancah Peradaban Bangsa

Oleh: Suhardi, S.Pd.

(Atikel ini pernah dimuat dalam majalah Talenta terbitan Dinas P dan K Jateng)

Tidak bisa dipungkiri, sastra saat selalu dipandang dengan sebelah mata oleh banyak orang. Para guru sastra di sekolah-sekolah pun terjangkiti pandangan seperti ini. Bahkan, pernah terjadi dalam suatu acara temu sastawan yang disponsoti majalah sastra legendaris di Indonesia, seorang siswa bertanya kepada sang penyair nasional sehabis membacakan sajaknya, “Apakah dengan menjadi sastrawan, seseorang bisa hidup layak?” Dan sang penyair yang karya-karyanya mengisi buku-buku pelajaran anak sekolah dan sering menjadi pembicara dalam forum-forum budaya itu menjawab dengan alur pikiran yang terseret ke arah pertanyaan siswa tersebut. Lalu, dia mulai pamer bahwa dengan sekali baca puisi di televisi saja dia mendapat sekian juta rupiah, dan seterusnya dan seterusnya. Jadi, sastra sudah dinilai semata-mata dengan rupiah, justru oleh sastrawannya sendiri.

Ada lagi contoh yang membuat penulis tersadar bagaimana sesungguhnya dunia sastra kita. Mungkin pembaca pernah menyimak pernyataan Pramoedya Ananta Toer, salah satu ikon sastra nasional. Seorang penulis novel yang kini karyanya telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa di dunia itu (Suara Merdeka, 6 September 2004), ketika diwawancarai wartawan televisi mengungkapkan betapa remehnya motivasi dia dalam memasuki dunia sastra. Sebab dia mengaku, bahwa latar belakangnya menjadi pengarang karena sering tidak bisa memuaskan harapan ayahya yang selalu menginginkan dia mendapat nilai bagus di sekolah seperti kakak-kakaknya. Akibat merasa kurang berharga itulah dia melarikan diri ke dunia tulis-menulis. Walaupun pelariannya itu kini membawanya sebagai pengarang besar di Tanah Air, namun cerita demikian itu bukanlah kisah hebat yang menjadi sumber keyakinan bahwa sastra memang dunia berharga. Sastra cuma sebuah pelarian alias pelampiasan, justru bagi sang sastrawan sendiri.

Lalu, bagaimana kita harus bersikap?

Kesusastraan sebagai salah satu bagian dari kehidupan memiliki peran penting dalam rangka membina dan mengembangkan peradaban, khususnya dalam konteks pengembangan kebudayaan Indonesia. Arti penting itu berkaitan erat dengan usaha pewarisan kebudayaan kepada generasi berikut melalui pendidikan. Hal ini lebih mudah dipahami jika mengingat bahwa kesusastraan merupakan bagian dari materi pendidikan. Dalam posisinya seperti itu, kesusastraan berpotensi untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Walaupun, tanpa mengandalkan posisi yang seperti itu, sastra pun masih dapat menjalankan fungsi itu secara efektif karena di luar dunia pendidikan sastra ternyata juga cukup eksis di masyarakat.

Sastra sebagai suatu seni olah bahasa dan olah isi pikiran manusia menjadi bagian dari kehidupan manusia karena di dalamnya terkandung nilai-nilai tertentu. Bukan saja nilai estetika yang inheren dengan hakikat seni sastra itu sendiri, melainkan juga nilai-nilai ekstrinsik. Nilai-nilai itu sangat penting bagi keutuhan hidup manusia, karena dengan nilai-nilai itulah aspek rohaniah hidup manusia tidak menjadi kering.

Arti penting kesusastraan tersebut sudah merupakan sifat hakiki bagi kesusastraan. Adanya sifat hakiki itu sesuai dengan pernyataan Horatius dalam ungkapan dulce et uitle, yaitu bahwa sastra menyenangkan dan bermanfaat (Sudjiman, 1988:12). Oleh karena itu, sifat hakiki karya sastra tersebut bagaimana pun juga akan selalu diakui oleh setiap warga masyarakat, bukan hanya mereka yang mempunyai spesialisasi bidang kesusastraan. Adanya pengakuan itu tidak harus dalam bentuk pernyataan verbal, tetapi termanifestasi secara nyata dalam perilaku warga masyarakat dalam berapresiasi sastra. Tentu saja, apresiasi sastra di sini tidak harus diartikan sebagaimana acara baca puisi atau cerpen di sekolah-sekolah. Definisi apresiasi sastra sama luasnya dengan pengertian yang dikandung dalam kata ‘sastra’ itu sendiri.

Setinggi apa pun nilai manfaat sesuatu, tidak akan berguna bagi kehidupan manusia jika tidak diusahakan untuk memetik manfaat tersebut. Usaha itulah yang harus diwujudkan.

Sehubungan dengan hakikat dan makna karya sastra yang demikian penting, kadang-kadang diperlukan upaya sadar untuk mewujudkannya. Usaha pewujudan manfaat karya sastra itu hanya mungkin dilakukan dengan menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam ilmu penafsiran (hermeneutik) dinyatakan bahwa, penafsiran bukanlah sekedar penafsiran fakta untuk mengungkap artinya, melainkan juga berpikir kreatif atas dasar fakta itu (Sastrapratedja, 1983:36-37). Wujud hasil berpikir kreatif itu nantinya akan berupa cermin dan pedoman bagi perjalanan kehidupan. Hal ini sangat sejalan dengan pendapat Herbert Marcuse, bahwa seni/sastra secara hakiki haruslah merupakan ungkapan dari eksistensi masyarakat (Marcuse, dalam Sastrapatedja, 1983 : 132). Secara lebih lanjut Marcuse menyatakan bahwa imajinasi estetis (karya sastra) mempunyai nilai sebagai faktor perubahan sosial sejauh mampu menjiwai macam-macam gerakan untuk mengubah masyarakat dari arah ekonomis, politis, dan budaya yang telah ditentukan oleh kelompok status quo. Jadi, dengan berpikir kreatif yang diilhami oleh isi karya sastra, sebuah revolusi sosial yang efektif bisa saja terjadi. Dan siapakah yang bisa menyangkal bahwa gelombang reformasi yang melanda Indonesia bukan karena berasal dari kekuatan kesadaran yang mula-mula dibangkitkan oleh sastra? Tentu saja hal ini bukan semata-mata merujuk kepada tampilnya para penyair di tengah-tengah massa demonstran menentang rezim Orde Baru pada tahun-tahun kemarin.

Berbicara mengenai kajian sastra seperti diuraikan di atas terasa terlalu jauh, walaupun tidak seorang pun bisa menyangkalnya. Untuk itu dirasa perlu dijelaskan manfaat telaah karya sastra yang lebih dekat ke praktik kehidupan, yang lebih konkret. Bagaimana pun juga, telaah sastra memerupakan bagian dari rangkaian proses pengajaran sastra. Sedangkan pengajaran sastra itu sendiri secara luas hendak membenamkan siswa di dalam kehidupan yang sesungguhnya (Hartoko, 1986 : 138)

Hal itu berarti, dengan telaah sastra akan dipetik sejumlah besar ajaran dan pesan yang terkandung dalam karya sastra yang dibaca itu. Selanjutnya, segenap peminat sastra akan terbina sebagai manusia bijak, karena sastra merupakan bagian dari humaniora. Humaniora adalah pendidikan yang tidak mengajarkan sebuah keterampilan tertentu, tetapi mengajarkan perihal wisdom, mendidik bagaimana menjadi manusia yang baik (Kuntowijoyo, 1987:67).

Itulah arti penting telaah sastra secara umum. Pekerjaan yang bernilai penting itu masih selalu menantang untuk dilakukan, lebih-lebih mencoba memahami karya sastra dari segi sosiologi. Aspek sosiologi sastra dirasa penting karena kesusastraan dan masyarakat memiliki keterikatan timbal balik. Misalnya, pernyataan Wellek dan Warren, bahwa sastra mempengaruhi dan dipengaruhi masyarakat, seni tidak hanya meniru kehidupan tetapi juga membentuknya (Budianta, 1990:120).

Makna penting tinjauan karya sastra dari segi sosiologis masih bisa dikaji secara lebih lanjut. Untuk itu perlu diingat, bahwa Indonesia sedang membangun. Pembangunan itu tidak lain adalah pembangunan masyarakat, dan masyarakat merupakan object forma kajian sosiologi. Di sini terdapat dua hal yang menarik untuk dipertautkan sehubungan dengan proses pembangunan mental bangsa. Hal pertama adalah karya sastra sebagai semacam potret sosial (Wellek dan Warren, dalam Budianta, 1990:112). Kedua adalah sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji asal dan proses perkembangan masyarakat (Ratmono, 1982:32). Dan, masyarakat Indonesia yang dicita-citakan itu sendiri masih dalam proses pembentukan, karena hakikat masyarakat adalah selalu aktif berkembang (berproses) untuk semakin maju dan semakin baik.

Agar masyarakat Indonesia tetap dinamis dan berorientasi ke masa depan sebagaimana diharapkan, maka sangat perlu untuk mengembangkan kebudayaan yang hidup di dalamnya, yaitu kebudayaan Indonesia. Kesadaran semacam ini sebenarnya telah lama berkembang, seperti yang pernah diungkapkan oleh Achdiat Kartamihardja (1977:7) bahwa nilai-nilai dan ukuran-ukuran lama dari kebudayaan yang hendak diwariskan itu harus dikaji, dikupas, dan diperiksa. Ketiga kata kunci yang diungkapkan Achdiat sesungguhnya mengandung arti mendalam. Kita tidak boleh semata-mata meneruskan apa yang telah dilakukan nenek moyang kita. Sikap kritis berorientasi ke masa depan dengan visi yang jelas perlu dikembangkan. Tidak semua warisan nenek moyang bernilai baik dan sesuai dengan kondisi sekarang. Demikian juga, tidak semua yang muncul belakangan selalu lebih baik. Semua harus dikaji secara bijak dengan patokan yang masuk akal.

Untuk bisa memeriksa dan menilai serta mengkaji kembali budaya lama maupun yang sedang berkembang di masyarakat itulah diperlukan sumber kajian, dan sumber itu adalah karya sastra sebagai salah satunya. Hal itu dapat dilakukan karena karya sastra telah merekam nilai-nilai kemasyarakatan dengan baik, secara eksplisit maupun implisit. Semua produk sastra di tanah air dapat dijadikan sumber kajian, baik prosa, puisi, maupun drama. Ketiganya memiliki ciri dan sifat masing-masing, namun sama-sama mampu menjadi media perekam kondisi sosial budaya masyarakat pada saat karya sastra itu diciptakan.

Karya sastra merupakan perekam kehidupan manusia dalam masyaratnya ketika karya itu diciptakan. Walaupun sebuah karya hanya merupakan hasil imajinasi, namun dalam imajinasinya itu pengarang (pencipta sastra) senantiasa mengambil bahan dari kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat. Bahkan, kadang-kadang pengarang menulis karya sastra yang berupa kilasan sejarah, sketsa, dan kritik sosial. Oleh karena itu, sastra dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami masyarakat.

Pentingnya kedudukan sastra dalam usaha untuk memahami masyarakat dapat disimak pendapat Hoggart. Bahkan, secara ekstrem dia menyatakan bahwa tanpa apresiasi terhadap karya-karya sastra yang baik maka tidak seorang pun akan benar-benar memahami sifat masyarakat (Mac Kenzie, 1966:225). Pemberian posisi yang begitu tinggi oleh Hoggart memang sudah sewajarnya, bahkan merupakan keharusan jika diingat bahwa antara masyarakat dan kesusastraan itu terdapat jalinan yang mustahil dicerai-beraikan. Jalinan itu adalah, bahwa sastra hanya mungkin hidup di masyarakat yang merupakan tempat manusia (pencipta sastra) hidup dan berkreasi sastra. Sementara itu, dalam proses kreasinya pengarang tidak mungkin terlepas dari orientasi lingkungannya, yaitu masyarakat tempatnya hidup. Maka tidak akan mengherankan kalau dikatakan bahwa sastra membentuk masyarakat dan sebaliknya sastra dicipta berdasarkan ide-ide hasil renungan sastrawan yang bahannya dipetik dari masyarakat untuk kemudian dituangkan dalam karyanya.

Karya sastra merekreasikan kembali makna kehidupan, bobotnya, dan susunan unsur-unsurnya sebagai suatu keseluruhan. Penciptaan kembali segala isi kehidupan itu tetap berupa jalinan saling-hubungan antarunsur-unsur sebagaimana unsur-unsur itu saling berkaitan di dalam kehidupan manusia yang sesungguhnya.

Dengan demikian, walaupun karya sastra tetap merupakan kreasi imajinatif pengarangnya, namun sangat dimungkinkan untuk mengkaji masyarakat dengan meneropong karya sastra. Pengkajian yang demikian ini dinamakan juga telaah sastra secara sosiologis, karena studi sosiologis mengandung pengertian sebagai suatu kajian kemasyarakatan. Untuk lebih memahami hubungan itu, ada baiknya disimak pendapat tokoh Pitirim A. Sorokin yang mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara berbagai macam gejala sosial, misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, antara keluarga dengan moral, antara gerak masyarakat dengan politik, dan lain-lain (Soekanto, 1987:15-16).

Oleh karena ruang lingkup yang dipelajari sosiologi sastra seperti di atas meliputi hampir semua gejala hidup manusia dalam masyarakat, maka orientasinya pun tidak akan lepas dari aspek kultural (kebudayaan) sebagai hasil dari interaksi sesama individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, maupun individu dan kelompok dengan lingkungannya.

Kebudayaan merupakan hasil usaha yang terus-menerus dari manusia dalam ikatan masyarakat dalam menciptakan prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menjawab tantangan sewaktu-waktu bagi masyarakat (Umar Kayam, dalam Alfian, 1985:225). Sebagai suatu hasil usaha, kebudayaan membentuk sistem nilai yang menjalin kehidupan manusia dalam masyarakat. Sistem nilai tersebut jika dirunut, maka dapat diketahui adanya tujuh unsur yang menyusunnya, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1987:2).

Sampai di sini sudah tampak dengan jelas bahwa kesusastraan merupakan bagian integral dari kebudayaan, karena kesusastraan merupakan salah satu cabang kesenian yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya. Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra telah melembaga dalam masyarakat.

Walaupun terdapat hubungan yang erat antara sosiologi dan kesusastraan, namun kedua bidang itu tetap berdiri pada posisi yang yang berbeda. Orang dapat memahami masyarakat lewat karya sastra, namun bukan berarti sastra merupakan pengganti sosiologi. Walaupun kenyataannya, studi budaya (antropologi) sering berdasarkan teks-teks sastra kuno. Tetap harus diingat, bahwa sastra mempunyai tujuan dan keberadaannya sendiri (Budianta, 1990:113), karena sastra merupakan suatu realitas dalam bentuk karya fiksi. Realitas fiktif mengandung arti, bahwa karya sastra menyajikan ilusi kenyataan yang meyakinkan pembaca seolah-olah apa yang dihadapinya (dibaca) merupakan fakta praktik kehidupan, padahal tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.

Realitas yang berupa ilusi kenyataan yang meyakinkan itulah yang kerap kali mewarnai isi karya sastra secara umum, baik novel, cerpen, puisi, maupun drama. Bahkan, di dalam novel yang merupakan bentuk cerita, ilusi kenyataan itu mustahil dipisahkan dari keberadaan novel itu sendiri. Paling tidak, ilusi kenyataan sosial itu dijadikan latar cerita. Karena, kebanyakan novel Indonesia masih bertumpu pada realisme formal, maka sebuah novel selalu berlangsung di suatu masyarakat manusia tertentu. Penggambaran suatu masyarakat di mana suatu cerita itu bermain adalah yang dimaksud dengan gambaran sosial di sini (Yacob Sumardjo, 1981:24).

Karena kenyataannya bahwa faktor sosial tak bisa dipisahkan dari integritas jalinan unsur-unsur dalam setiap karya sastra umumnya, maka keterkaitan antara karya sastra dengan kemasyarakatan tidak dapat dipungkiri. Dasar budaya lahirnya karya-karya sastra Indonesia dapat diteliti lebih jauh sehingga dapat memberikan pemahaman lebih tepat terhadap sastra dan sekaligus pemahaman terhadap cabang-cabang seni lainnya.

Untunglah, kesadaran untuk menempatkan sastra dalam posisi yang semestinya mulai digulirkan. Setelah melalui tarik ulur kepentingan dan prioritas, intensifikasi pembelajaran sastra ditampung dalam Kurikulun 2004. Kecuali, karakteristik kurikulum itu sendiri yang mengutamakan pengalaman belajar pada diri siswa, secara eksplisit juga telah ditegaskan adanya kewajiban siswa untuk membaca buku sastra. Dalam rambu-rambu pelaksanaan kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia SMA dinyatakan bahwa sebagai upaya meningkatkan apresiasi sastra dan gemar membaca, setiap siswa diwajibkan membaca 15 buku karya sastra, baik novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, maupun drama. Sesungguhnya lima buku dalam setahun masih rendah. Penulis pernah diberi lima buah buku cerita oleh seorang ibu yang hendak meninggalkan hotel. Rupanya buku-buku itulah yang dibaca oleh anaknya selama berlibur di Indonesia yang hanya beberapa hari. Jadi, 15 buku selama tiga tahun tentu masih sangat sedikit.

Akankah, anak-anak sekolah kita akan sampai seperti itu nantinya? Karena sesungguhnya, kegemaran membaca bukan sekedar pernyataan eksplisit dalam surat-surat edaran birokratif. Akan tetapi di dalamnya bersangkut-paut dengan upaya sungguh-sungguh semua pihak. Guru menjadi motor, orang tua menjadi contoh nyata, pemerintah menyediakan sarana (buku yang terjangkau harga dan ketersediannya), serta masyarakat memang memiliki kesadaran bahwa hanya dengan membacalah kecerdasan dan kualitas hidup akan meningkat. Di sinilah sastra menjadi kunci keberhasilan, karena kegemaran membaca ada dalam wilayah pelajaran sastra.

Sumber, Rembang, 11 Mei 2005

Penulis adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA N Sumber, Rembang.

-------------------

DAFTAR PUSTAKA

Alfian (ed). 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia

Budianta, Melani (penerjemah). 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas

Hartoko, Dick. 1986. Tonggak Perjalanan Budaya, Sebuah Antologi. Yogyakarta: Kanisius

Kartamihardja, Achdiat. 1977. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana

Mac Kenzie, Norman. 1966. A Guide to the Social Sciences. USA: The New American Library

Sumardjo, Yacob .1981. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka

Soekanto, Soerjono. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press

Ratmoko. 1982. Sosiologi Fundamental. Jakarta: Djambatan

Sastrapratedja. 1983. Manusia Multidimensional, Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: Gramedia

Suara Merdeka, 6 September 2004

Tidak ada komentar: