Jumat, 11 Juli 2008

Ulasan Novel

NOVEL PARA PRIYAYI

SEBUAH POTRET WAJAH BANGSA INDONESIA

Oleh: Suhardi, S.Pd

(Artikel ini pernah dimuat di majalah Talenta terbitan Dinas P dan K Jateng)

Orang boleh membantah mengenai adanya Jawa sentris. Namun banyak orang luar Jawa yang dalam lubuk hati terdalamnya meyakini dan merasakan bahwa kehidupan mereka didominasi oleh Jawa dalam banyak hal (politik, ekonomi, sosial, dan budaya). Padahal Jawa itu sendiri juga merupakan suatu totalitas budaya yang secara internal mengalami dominasi oleh sub-kultur tertentu, yaitu kaum priyayi. Ibarat sebuah organisme, para priyayi adalah gen pembawa sifat yang terkandung dalam sel tubuh bangsa Indonesia. Bagaimana corak kehidupan bangsa Indonesia seolah merupakan reproduksi karakter-karakter kaum priyayi Jawa. Mengapa rata-rata orang Indonesia malas bekerja dan bodoh, mengapa terjadi banyak korupsi dan penyalahgunaan wewengan di segala lapisan masyarakat, mengapa kekayaan alam yang begitu melimpah justru dinikmati kontraktor asing dan kita tak pernah beranjak dari predikat negara dunia ketiga, mengapa keramah-tamahan yang pernah kita bangga-banggakan itu ternyata hanya basa-basi di bibir saja, dan sebagainya. Itu semua ternyata dapat dikaji akar budayanya pada kehidupan para priyayi Jawa.

Di sinilah menariknya membicarakan salah satu dokumen sastra yang berupa novel karya Umar Kayam berjudul Para Priyayi. Tulisan ini tidak bermaksud menggusur lahan kreativitas para resensator, karena novel itu sebenarnya sudah lama terbit (1991) sehingga sudah tidak diperlukan lagi iklan jualan kecap. Justru karena sudah lama terbit dan kini telah menjadi semacam ‘bacaan wajib’ anak-anak sekolah di Tanah Air dengan didropnya ke perpustakaan-perpustakaan sekolah, maka penulis mencoba turut menyumbangkan suatu alternatif penafsiran. Memang, setiap orang sah-sah saja membentuk persepsi sendiri sesuai subjektivitas dan pengalaman masing-masing, paling tidak ini akan menjadi salah satu referensi pembentuk pemahaman, terutama bagi para siswa yang orientasi pemahaman prosa fiksinya masih pada ukuran keasyikan alur cerita dan kenikmatan yang berhubungan dengan angan-angan pubertas remaja.

Para pembaca yang berharap memperoleh sajian ‘enak dan renyah’ seperti orang menikmati emping jagung mungkin akan kecewa. Novel ini bukan sejenis cerita-cerita sinetron kosong yang banyak mendominasi jam-jam tayang televisi di rumah-rumah kita. Sesekali memang siswa harus diajak memahami karya sastra serius seperti Para Priyayi ini agar pemahaman mereka mengenai kehidupan semakin berkembang. Atau barangkali novel ini perlu sinentronkan (ini tantangan bagi para penulis di Talenta, tidak ada salahnya Talenta merambah dunia layar kaca dalam rangka membangun taman sastra), sehingga tema besar yang diangkat Umar Kayam, yaitu kehidupan kaum priyayi Jawa, semakin luas dipahami generasi muda.

Para priyayi adalah kelompok sosial yang sejak tahun 1900-an menjadi elit birokrasi pemerintah. Orang-orang inilah yang menduduki berbagai jabatan pemerintahan. Merekalah yang memimpin, mengatur, memberi pengaruh, dan menuntun masyarakat. Semua orang yang duduk dalam jabatan administrasi pemerintah, para pegawai pemerintahan, dan orang-orang yang berpendidikan digolongkan kaum priyayi. Mula-mula, priyayi adalah mereka yang memiliki garis keturunan dengan raja atau adipati (dalam bahasa Jawa, priyayi adalah para yayi atau para adik raja). Akan tetapi dengan semakin terdidiknya masyarakat biasa dan keberhasilan mereka memperoleh karir di berbagai bidang di pemerintahan, maka priyayi tidak harus memiliki darah bangsawan (Sartono Kartidirdjo, 1987).Kepada golongan elit inilah sesungguhnya Indonesia berkiblat.

Sebagai sebuah karya sastra mutakhir Indonesia, novel Para Priyayi secara intrinsik tidak perlu diragukan bobotnya. Walaupun, penilaian ini dapat saja berbeda dengan orang lain. Tema cerita yang cukup serius, alur cerita yang menawan, dan ragam bahasa yang memikat, khususnya bagi pembaca yang berlatar belakang bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu.

Ceritanya cukup panjang, memakan ruang tulis sepanjang 308 halaman. Intinya memceritakan sosok sebuah keluarga priyayi Jawa yang memperoleh kepriyayianya karena pendidikan yang ia miliki. Tokoh utamanya bernama Sastrodarsono. Dia anak seorang buruh tani penggarap -sejenis petani tanpa sawah, karena itu pasti miskin- yang beruntung dapat menamatkan sekolah guru bantu di Madiun. (Penulis yakin, adanya pengangkatan Guru Bantu di Indonesia sekarang ini karena pembuat kebijakannya diilhami oleh novel ini). Dengan bekal ijasah sekolah guru bantu itulah dia meniti tangga kehidupan priyayi dari bawah sampai akhirnya menjadi Mantri Guru (kepala sekolah) dan memasuki pergaulan kalangan priyayi lain di tingkat kabupaten. Sambil meniti karir, dia juga membina rumah tangga khas priyayi. Tiga anaknya lahir, dididik dan dibesarkan sebagai keturunan priyayi. Selain itu juga mengangkat anak-anak saudaranya untuk ikut diasuh dalam keluarga besar Sastrodarsono. Sebuah keluarga priyayi intelektual Jawa yang tumbuh turun-temurun sejak masa kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan. Berbagai peristiwa sejarah dialamai anggota keluarga itu, dan semua itu mencerminkan kehidupan priyayi dalam segala aspeknya. Seolah Umar Kayam berkata, “Ini seperti ini lho, kehidupan priyayi itu!”

Seolah membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan reproduksi dan penjelasan sesuatu yang penting dalam kehidupan (Kusdiratin, 1985:109-110), novel Para Priyayi mampu membuat pembaca saat mengikuti alur cerita merasakan betul bahwa segala tahap dan peristiwa-peristiwa bahkan termasuk latar, karakter para tokoh cerita beserta kejadian dan nasib yang menimpa tokoh, dijalin dengan cara yang benar-benar ajaib, sehingga tercipta sebuah karya sastra yang mampu mereproduksi dan mampu menjelaskan apa yang penting dalam kehidupan priyayi Jawa secara lengkap dan pas. Penulis katakan ajaib, karena unsur-unsur di atas terjalin demikian hidup, wajar, dan masuk akal. Tak satupun unsur-unsur penjalin cerita itu tampil secara nonsense dan sia-sia. Tidak ada yang absurd di sana. Di sini pula telah terpenuhi suatu syarat konvensional mengenai bagaimana sebuah alur itu harus dijalin (Kusdiratin, 1985: 86) sehinga pembaca teryakinkan.

Rupanya Umar Kayam yakin dan sadar betul bahwa setiap adegan, setiap tahap cerita dan setiap tingkah laku tokoh yang dia ciptakan harus mampu benar-benar berperan dalam rekonstruksi kehidupan priyayi di hadapan pembaca. Umar Kayam rupanya mengetahui benar, bahwa penggambaran sosok dan perilaku serta karakter kaum priyayi tidak harus dengan kalimat-kalimat deskriptif yang bernada menggurui dan cenderung membosankan. Pemahaman akan didapat oleh pembaca secara ilmiah dan mendasar justru jika segala sesuatu yang hendak disampaikan itu di-‘peragakan’ sehingga seolah-olah seperti hidup yang sesungguhnya. Kemampuan memanfaatkan unsur-unsur intrinsik dalam teknik penulisan karya sastra inilah yang mendukung keberhasilan Umar Kayam dalam mengajak pembaca untuk tidak bosan-bosan mengikuti kalimat demi kalimat yang terpapar.

Kepandaian Umar Kayam dalam mengelola unsur-unsur intrinsik itu misalnya dapat dilihat dalam salah satu bagian yang dikutip berikut ini.

Le, begini yo, Le. Bapak dan Embokmu sudah mendapat jodoh buat kamu. Ini juga sudah kami rundingkan dengan pakde dan paman-pamanmu. Sudah kami pertimbangkan masak-masak. Sudah kami perhitungkan pula kedudukanmu sebagai priyayi. Sudah, to, calonmu ini akan cocok betul dengan kamu.” (Umar Kayam, 2000:37).

Dalam kutipan di atas kelihatan bagaimana Umar Kayam berusaha memformulasikan karakter seorang ayah di kalangan priyayi dan bagaimana peran seorang ayah dalam sebuah keluarga priyayi ketika menangani sebuah perjodohan anaknya. Di situ tercermin adanya karakter khas kehidupan priyayi Jawa yang bersifat patriarchal tanpa harus didefinisikan dengan kalimat-kalimat kaku dan mati.

Jika dilihat dari isinya, Para Priyayi dapat dikatakan sebagai sebuah novel sastra. Penyebutan sebagai novel sastra di sini sengaja diberikan untuk membedakannya dengan novel popular. Ada dua hal yang membedakan sebuah karya bernilai sastra dengan karya popular. Pertama, karya yang dianggap bernilai sastra dapat memberikan pemahaman mengenai hidup secara luas dan mendalam, sedangkan karya pop hanya memberikan hiburan ringan. Kedua, fiksi pop bersifat ekskapis, yakni mengajak pembaca untuk melarikan diri dari kenyataan hidup sehari-hari. Sedangkan karya sastra justru mengajak pembaca novel sastra selain memberikan manfaat sebagai bacaan pengisi waktu luang (hiburan), yang lebih penting adalah adanya suatu cetusan pemikiran (Jakob Sumarjo, 1981:18-19). Dalam novel Para Priyayi, cetusan pemikiran itu adalah ajakan pengarang untuk merenungi hakikat semangat kepriyayian.

Pokok persoalan yang diangkat Umar Kayam itu jelas sekali berbeda dengan novel pop yang menurut penulis tidak cukup bernilai karena mereka ini kebanyakan hanya menyuguhkan keasyikan cerita tanpa rangsangan penafsiran nilai-nilai kehidupan. Dalam novel pop hampir-hampir tidak ada informasi penting yang dapat mendekatkan pembaca kepada nilai-nilai kehidupan agar pembaca lebih paham makna peristiwa dan segala hal yang terjadi dalam kehidupan (Jakob Sumarjo dan Saini KM, 1999:37). Tidak demikian dengan Para Priyayi. Alasan inilah yang menurut penulis dapat dijadikan dasar pembobotan novel Para Priyayi dari segi intrinsik.

Terasa sekali Umar Kayam hendak mengajak pembaca untuk merenungi suatu kenyataan mengenai keberadaan subkultur priyayi di kalangan masyarakat Jawa. Ajakan untuk merenung dan memahami itu nyata sekali dari uraian penutup yang sempat disampaikan oleh Umar Kayam di bagian akhir novelnya itu. Lewat tokoh Lantip, Umar Kayam berpidato panjang lebar di hadapan upacara pemakaman priyayi utama dalam novel itu (Sastrodarsono), tentang makna hidup seorang priyayi. Di situ pembaca diajak memahami apa sesungguhnya priyayi itu, semangat-semangat apa yang dapat dipelajari dari padanya. Yaitu, sebuah kerja raksasa tanpa henti untuk mengabdi kepada wong cilik, rakyat jelata (Umar Kayam, 2000:305-307) lewat berbagai kegiatan pelayanan masyarakat, khususnya pendidikan.

Lewat pidato Lantip itulah Umar Kayam memberikan pemahaman sejelas-jelasnya mengenai makna hidup kepriyayian. Di situ pulalah tema cerita dibeberkan. Sebuah simpulan padat berdasarkan uraian cerita nan unik serta memukau.

Bila dilihat dari sambutan masyarakat pembaca, ada sesuatu yang perlu juga diperhitungkan untuk dapat mendudukkan novel ini di antara karya-karya lain sejenisnya. Sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1991, novel ini telah mengalami cetak ulang berkali-kali. Novel ini juga sering dijadikan bahan kajian bagi mahasiswa-mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Bahkan sekarang novel ini telah memasuki perpustakaan-perpustakaan sekolah (SMA) sebagai salah satu khasanah novel yang dianjurkan dan bahkan wajib dibaca oleh siswa SMA. Betapa tidak wajib, novel ini dijadikan salah satu sumber bahan belajar untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas tiga program umum (Imam Syafi’ie dan A. Syukur Ghazali, 1994:13). Mau tidak mau para siswa SMA harus membacanya. Kenyataan itu menunjukkan bahwa novel Para Priyayi telah menyebar luas di kalangan masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan pengarang telah pula menyebar.

Berkaitan dengan begitu luasnya penyebaran itu, penulis memandang perlu adanya pencermatan terhadap isinya. Secara umum inti pesan dalam novel itu memang layak dikonsumsi masyarakat, khususnya pelajar sekolah lanjutan. Namun, di balik tema pokok yang memang bagus itu, ada beberapa detil kehidupan kaum priyayi yang tidak dapat ‘diterima mentah-mentah’. Paling tidak harus ada penjelasan yang membimbing ke arah pemahaman secara positif.

Memang benar, bahwa suatu karya sastra memiliki sifat tidak monotafsir. Persoalan kemudian dapat saja muncul jika pembaca tidak bisa atau tidak terbiasa berkomunikasi dengan sastra multi-interpretasi, lebih-lebih jika pembaca belum disiapkan untuk menerima segi positifnya. Di sinilah peran seorang guru diharapkan, sehingga dengan arahan-arahan yang diberikannya, siswa mampu memaknai setiap pesan secara positif, wajar, dan konstruktif. Misalnya, beberapa hal di bawah ini yang tergolong dapat berdampak negatif terhadap pembaca yang berpenafsiran harfiah.

1. Pewarisan Nilai Feodalisme

Sehubungan dengan ini, Sartono Kartodirdjo (1987:67) mengingatkan beberapa nilai buruk dari feodalisme yang di antaranya adalah mentalitas berorientasi kepada atasan, hanya menunggu perintah atasan, patuh dan loyal secara berlebihan sampai merendahan diri, dan mengutamakan kesenangan atasan (mentalitas ‘asal bapak senang’, ABS).

Tidak bisa dipungkiri bahwa memang feodalisme merupakan suatu ciri yang inheren dalam kehidupan para priyayi. Masalah ini pula yang juga tidak luput dari beberan isi novel Para Priyayi. Kutipan berikut menunjukkannya:

“Tole semua. Dengarkan baik-baik perintahku ini ………………………..

Begitulah perintah dari sesepuh keluarga Sastrodarsono dijatuhkan. Kami semua tidak

bisa lain daripada manaatinya dan melaksanakannya.” (Umar Kayam, 2000:302).

Monolog yang cukup halus itu sebenarnya mengungkapkan mentalitas yang bersumber dari budaya priyayi yang kental dengan feodalismenya. Kita menjadi paham mengapa kondisi bangsa kita sejak lama senantiasa terpuruk dalam berbagai persoalan memalukan dan merendahkan martabat, yaitu korupsi dan nepotisme. Bapakisme (sikap yang selalu menganggap seorang bapak atau atasan selalu benar) dan nepotisme adalah inti budaya feodal. Bapak tidak mungkin salah dan bapak tidak boleh dikritik (Brouwer, 1976:20).

Betapa dalamnya mental buruk itu telah mencengkeram kehidupan kita. Di dalam keluarga, seorang ayah berhak penuh mengatur kehidupan anaknya, siswa-siswa di sekolah sulit berbeda pendapat dengan gurunya (sebab gurunya sendiri masih selalu lupa paradigma baru dalam pembelajaran yang sering mereka ikuti dalan workshop-workshop pembelajaran), dan dalam birokrasi akses suara kritik dari bawah selalu tercekik di tengah jalan. Seorang pejabat merasa memiliki kekuasaan penuh melibas aspirasi dari bawah padahal sebenarnya aspirasi itu membawa perbaikan, seperti misalnya yang terjadi di sebuah SMA negeri terkemuka di ibukota Jawa Tengah. Dengan tegas dan arogan ‘sang Bapak’ bersabda bahwa dia tidak mungkin membiarkan orang merusak sistem pendidikan di provinsi ini, jangan sampai aksi demokratis-konstruktif mereka ditiru sekolah-sekolah lain. Lalu para guru yang berpikiran maju itu pun dipindah-tugaskan. Itulah barangkali cara efektif untuk membunuh demokrasi, suatu warisan budaya priyayi Jawa yang perlu selalu dipertanyakan.

2. Mentalitas ‘Mikul Dhuwur Mendhem Jero’ yang Kontradiktif dan Kontraproduktif

Mikul Dhuwur Mendhem Jero adalah ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti menjunjung tinggi keharuman nama baik orang tua dan menyembunyikan rapi-rapi aib orang tua. Sebenarnya ajaran moral yang terkandung di dalamnya bagus sekali. Namun, itu akan menjadi tidak bagus bila seorang anak atau bawahan harus selalu mendiamkan atau menutupi rapi-rapi keburukan yang dilakukan orang tua atau atasan. Bagaimana kalau kasusnya adalah seorang atasan yang menyalahgunakan kekuasaan atau wewengan? Bisakah anda membantah bahwa ‘membudayanya’ praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme selama ini bukan berakar dari mentalitas tersebut? Sebab, dalam kondisi semacam itu budaya kritik menjadi haram. Dan haramnya kritik akan membuat rusaknya tatanan sosial dalam jangka panjang. Keterpurukan bangsa Indonesia sejak krisis tahun 1997 hingga sekarang merupakan akibat tertutupnya saluran kritik kepada para pemimpin, yang tidak lain adalah para priyayi yang duduk di dunia birokrasi.

Mentalitas tersebut juga tidak luput dari penceritaan Umar Kayam, dan itu dapat dibaca pada halaman 123 novel Para Priyayi. Di situ Umar Kayam lewat tokoh Lantip mengungkapkan pentingnya sikap mikul dhuwur mendhem jero terhadap orang tua mereka yaitu Sastrodarsono.

3. Mentalitas ‘Sak Madyo’

Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam juga dengan sangat jelas menunjukkan bagaimana mentalitas ini merupakan bagian dari budaya kaum priyayi yang diceritakannya. Simak saja kutipan berikut ini:

Dokter Soedradjat mengatakan bahwa paling baik manusia itu ‘sakmadyo’ saja, secukupnya. Untuk apa mengejar yang lebih dari cukup? Itu hanya akan membuat manusia serakah, ngoyo, bahkan mungkin ngotot mau yang banyak, yang lebih ……………….….. (Umar Kayam, 2000:85).

Letak keburukan mentalitas ini adalah pada upaya pengendoran semangat bekerja. Lebih-lebih pada masa sekarang ketika persaingan bebas telah menjadi way of live umat manusia di seluruh penjuru dunia. Kalau ingin survive dalam hidup harus memiliki keunggulan. Kalau ingin memiliki keunggulan harus berusaha sekuat tenaga melebihi orang lain, paling tidak sama. Siapa yang tidak mau bekerja keras pasti akan tergilas dalam persaingan. Di kelas-kelas dikondisikan suasana persaingan untuk memperoleh peringkat nilai tertinggi yang menantang. Di dunia kerja terdapat jaring-jaring yang hanya meloloskan manusia-manusia berkemampuan lebih (unggul) saja yang dapat memasukinya. Lihat saja dalam konsep dan skenario pasar bebas yang mulai diimplementasikan di seluruh dunia.

Kita juga menjadi lebih mengerti sekarang mengapa kualitas pendidikan kita demikian memprihatinkan. Sebab kita semua bekerja secara setengah-setengah, tidak optimal. Para siswa belajar setengah-setengah, guru-guru mengajar setengah-setengah, para manajer pendidikan di birokrasi membuat kebijakan setengah-setengah, kurikulum berjalan setengah-setengah, maka hasilnya pun sak madyo saja alias setengah-setengah. Priyagung tinggi di dunia pendidikan pernah membanggakan, katanya sebenarnya dunia pendidikan kita tidak buruk benar karena ternyata setiap tahun melahirkan juara-juara dalam berbagai olimpiade ilmu pengetahuan tingkat internasional. Tapi rupanya priyayi agung itu menyembunyikan fakta bahwa, para siswa yang menjadi juara itu kebanyakan berdarah Cina. Berapa banyak keturunan Cina di Indonesia, tetapi mengapa hanya sedikit pribumi yang menjadi juara. Ini karena saudara-saudara kita yang bedarah Cina itu memang tidak ber-‘mental priyayi’ seperti kita yang pribumi. Mereka tidak terbiasa bekerja setengah-setengah, mereka terbiasa berjuang seperti nenek moyang mereka yang menjadi manusia-manusia perahu menyebar ke seluruh dunia untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Mereka, siswa-siswa bermata sipit itu memiliki etos kerja seperti bapak-bapak mereka yang kini mampu membuat negara Cina bangkit sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan politik di Asia, bahkan dunia. Itu semua karena mereka tidak mau bekerja sak madyo seperti kita.

Setelah kita melihat fenomena global seperti itu, apakah mentalitas sakmadyo yang diajarkan kaum priyayi itu layak dipertahankan? Dan bagaimana pula sikap kita terhadap novel Para Priyayi?

Penulis masih ingin menimbang-nimbang betapa novel ini memang layak diperhitungkan. Dari segi latar belakang misalnya. Umar Kayam adalah seorang Guru Besar di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada Yogyakarta, seorang antropolog, sekaligus seorang budayawan. Dengan begitu dapatlah disimpulkan bahwa Umar Kayam adalah seorang priyayi juga. Priyayi yang betul-betul priyayi, yang mengerti apa itu priyayi dengan segala seluk-beluk pemahaman sosiologis-antropologis dan realita keseharian kehidupannya sendiri. Sebagai seorang guru besar, dia adalah seorang priyayi tingkat atas. Apalagi dengan kedudukannya itu dia pasti dekat dengan kalangan istana Yogyakarta. Bukankah Keraton Yogyakarta merupakan ujung kerucut terpuncak dari strata subkultur kaum priyayi Jawa? Dari sini kita menjadi lebih yakin, bahwa Umar Kayam pasti mengerti betul apa itu priyayi dan kepriyayian, dan kalau kemudian dia menulis sebuah novel yang mengangkat kaum priyayi sebagai temanya, tentu ada pesan-pesan khusus yang hendak disampaikannya. Ada nilai-nilai tertentu yang hendak ia beritahukan kepada pembaca. Dan untuk itu dia menggunakan novel sebagai salah satu bentuk karya sastra, karena karya sastra memang media pewarisan nilai-nilai dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Bila dilihat dari tujuan utama Umar Kayam yang ingin mewariskan semangat pengabdian priyayi, ketiga contoh di atas dapat dikatakan sebagai ganjalan. Namun demikian, ganjalan semacam itu hendaknya tidak usah menjadi alasan untuk menyisihkan novel ini dari dunia pendidikan karena khawatir terjadi revitalisasi nilai-nilai negatif yang tersirat dalam kehidupan para priyayi. Justru dengan adanya contoh yang kontradiktif semacam itu biasanya pesan lebih sampai kepada pembaca. Karena, dalam kontradiksi biasanya terkandung daya tarik sehingga kita menjadi sadar untuk memperhatikan apa yang hendak disampaikan.

Akhirnya memang bergantung kepada guru yang menggunakan novel ini sebagai sumber pembelajaran, bagaimana cara mereka mengolah pesan yang ada dalam novel yang kelihatannya buram menjadi putih. Sesuatu yang buram, hitam, atau kotor tidak selalu buruk, bergantung cara kita memandangnya. Dalam kotor ada sisi-sisi yang mengandung hikmah. Masyarakat luas selaku pembaca pun dapat berlaku sama. Jika cara ini dapat dilakukan, maka tidak akan terjadi salah tafsir yang tidak perlu.

Setiap karya sastra memiliki bentuk-bentuk pengungkapan yang khas dan simbol-simbol makna tertentu. Setiap pembaca memiliki daya asiosiasi berbeda (Jassin, 1985:81) Semakin luas pengalaman hidup pembaca semakin luas khasanah pengalaman yang dapat dia jadikan rujukan untuk menghubung-hubungkan isi novel yang ia baca dengan berbagai pengalaman hidup. Umumnya, siswa baru mampu memahami isi sebuah cerita novel secara harfiah, yakni sekitar hubungan cinta, persahabatan, pertikaian, atau peristiwa-peritiwa lain yang sebenarya hanya ‘kerangka’ bagi pengarang untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu. Di sinilah peran guru menjadi penting dalam mengarahkan pemahaman siswa. Tentu akan lebih berhasil lagi bila sejak dini siswa didorong untuk akrab dengan karya sastra dan banyak membaca. Jika mengingat ini, ketentuan kurikulum 2004 yang mewajibkan siswa untuk membaca minimal lima buku fiksi dalam setahun atau lima belas buku fiksi dalam tiga tahun, sesungguhnya belum memadai. Namanya juga ukuran minimal, tentu hasilnya akan minimal juga. Sayangnya, untuk mencapai yang minimal itu pun masih sulit bagi sekolah-sekolah di daerah, apalagi jika priyayi pengelolanya tidak senapas dengan ajakan itu.

Penting pula untuk disadari oleh para guru bahasa dan sastra, bahwa menghadapi keragaman daya pemahaman siswa terhadap isi novel seperti ini jangan sampai membuatnya terjebak dalam paradigma guru ilmu pasti. Satu pertanyaan matematika yang diajukan kepada 40 siswa, hanya ada satu kemungkinan jawaban yang boleh diterimi oleh guru matematika. Misalnya, empat kali empat, jawabnya harus 16. Siapa yang menjawab lain dari itu harus disalahkan. Nah, guru bahasa dan sastra tidak boleh demikian, justru sebaliknya. Sebuah pertanyaan dimungkinkan menghasilkan jawaban yang berbeda dan semua itu harus dibenarkan. Misalnya, buatlah sinopsis novel Para Priyayi. Jika ada beberapa siswa yang jawabannya sama persis justru harus disalahkan semua, karena berarti mereka telah bekerja secara curang (saling memberi dan menerima contekan). Di sinilah tantangan bagi guru bahasa dan sastra untuk lebih ‘kaya’ daripada guru lain.

Rembang, 12 Desember 2005

Penulis: Suhardi, S.Pd.

Guru Bahasa dan Sastra Indonesia

SMA N 1 Sumber-Rembang

*****SHD*****

DAFTAR PUSTAKA:

Bouwer, M.A.W. 1976. Senyum dan Menangis. Gramedia: Jakarta

Kartodirdjo, Kartono, 1977. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gajahmada University Press

Kayam, Umar. 2000. Para Priyayi Sebuah Novel. Jakarta: Depdiknas

Kusdiratin. 1985. Memahami Novel ‘Atheis’. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud

Sumajo, Jakob. 1981. Segi Sosiologis Novel Indonesia. Bandung: Pustaka Prima

Sumarjo, Jakob dan Saini KM. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Prima

Syafe’ie, Imam dan A. Syukur Ghazali. 1991. Terampil Berbahasa Indonesia 3 untuk Sekolah Mengengah Umum Kelas 3 Semua Program. Jakarta: Depdikbud


Tidak ada komentar: