Jumat, 11 Juli 2008

Ulasan Tokoh Sastra

PERCIK-PERCIK KEPELOPORAN CHAIRIL AWAR

DALAM SASTRA INDONESIA

Oleh: Suhardi, S.Pd.

(Artikel ini pernah dimuat di majalah Talenta terbitan Dinas P dan K Jateng)

Apa sebenarnya yang istimewa pada Chairil Anwar? Mengapa majalah sastra legendaris di Indonesia Horison menganggap kemunculan Chairil Anwar dalam dunia sastra Indonesia sebagai gumpalan energi dahsyat yang telah menghentakkan tenaga anyar pada ekspresi puisi kita, menggoncang estetikanya dan menggunggah pemikiran seni …. ? Tak kalah pula H.B. Jassin dengan mengutip pernyataan Artati Sudirdjo menganggapnya sebagai seorang yang pertama-tama merintis jalan dan membentuk aliran baru dalam kesusastraan Indonesia… orang yang terbesar pengaruhnya dari Angatan ’45 (H.B. Jassin, 1985:43). Apa pula alasannya, sehingga para sastrawan menjadikan bulan wafatnya sebagai Bulan Sastra Indonesia? Dan kita sebagai orang-orang yang berkecimpung dalam sastra, mulai dari mahasiswa jurusan sastra Indonesia hingga kelompok guru-guru bahasa dan sastra di sekolah-sekolah, seolah merasa ‘wajib’ mengadakan berbagai acara apresiasi sastra demi mengenang sang penyair. Benarkah Chairil Anwar memang sosok penyair yang istimewa?

Chairil Anwar mungkin kurang tepat bila diumpamakan sebuah meteor yang melesat dengan tiba-tiba dari keluasan dan kehampaan ruang angkasa. Memang kekuatan tenaga pendorong yang menyertai kemunculannya diakui banyak sastrawan, sehingga karya-karyanya (terutama puisi) mengandung kekuatan besar dibanding penyair-penyair seangkatannya. Bahkan, mungkin dinilai paling kuat pengaruhnya dalam sejarah perpuisian Indonesia moderen, sehingga karena itulah dia dijadikan ikon utama dalam dunia sastra kita hingga saat ini.

Namun, Chairil Anwar tidak muncul dari dunia sim salabin ala kadabra lalu begitu saja ada, melainkan tetap melalui suatu proses panjang penuh perjuangan, setelah menghayati derap perubahan zaman, menghirup udara pergantian musim dan mode karya, menyerap, merenungkan, menghayati, membandingkan, mengkaji, mengkritisi, merevisi, dan akhirnya memformulasikan semua pengalaman dalam bentuk karya yang ternyata hingga kini masih kita akui ketinggian nilainya. Semua itu juga didukung oleh tiga pintu besar yang mengalirkan dan memompakan pengalaman ke dalam danau kreativitasnya, yaitu penguasaannya terhadap bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris. Ketiga bahasa itulah yang mengalirkan inspirasi dari karya-karya besar sastra dunia ke dalam dirinya. Begitu intensifnya dia menyerap khasanah sastra dunia, sehingga ketika saatnya tiba, jebollah dinding-dinding yang menghimpun sekian banyak pengalaman yang telah ia serap dan ia ramu , lalu mencuatlah produk sastra monumental pendobrak semangat kebebasan zaman.

Text Box: ISERT: Biodata Nama : Chairil Anwar Lahir : Medan, 26 Juli 1922 Wafat : Jakarta, 28 April 1949 Pendidikan: HIS (Hollands Inlandsche School), dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Karya : 72 sajak asli (satu dalam bahasa Belanda), dua sajak saduran, 11 sajak terjemahan, 7 prosa asli (satu dalam bahasa Belanda) dan 4 prosa terjemahan, sehingga semuanya menjadi 96 tulisan (H.B. Jassin, 1985: 49). Buku Kumpulan Puisi : Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950).Dengan menggunakan sudut pandang penekanan bentuk dan isi, Herman J. Waluyo menilai Chairil Anwar sebagai penyair yang telah benar-benar melakukan pembaruan secara revolusioner (1987:17). Memang, setiap angkatan selalu terjadi pembaruan sejak kesusastraan Indonesia memasuki babak baru pada masa Pujangga Baru hingga masa sekarang, terutama puisi. Namun, revolusi pembaruan tidak sehebat yang dilakukan Chairil Anwar (angkatan ’45). Setelah zaman Balai Pustaka yang lebih banyak meneruskan tradisi sastra lama (pantun dan syair), para penyair Pujangga Baru yang dirajai Amir Hamzah telah mencoba melakukan pembaruan. Aspek ikatan bentuk yang meliputi banyaknya baris, kata, suku kata, dan pola sajak sudah mulai ditinggalkan, tetapi mereka mencari bentuk baru dalam khasanah kesusastraan asing yang ternyata kembali mereka terperangkap oleh aturan yang sejenis walau tak persis sama. Bentuk-bentuk puisi asing baik distikon (dua baris), tersina (tiga baris), kuartrain (empat baris), kuin (lima baris), sektet (enam baris), dan soneta (14 baris) pada dasarnya adalah ikatan-ikatan bentuk model baru yang kurang memberikan kelonggaran kreativitas bagi penyair.

Suasana zaman merdeka saat itu rupanya membuat para penyair angkatan Chairil Anwar mencoba mencari bentuk ekspresi yang benar-benar merdeka dari segala ikatan, walau tentunya masih dalam konteks norma perpuisian sebagai karangan yang jelas-jelas berbeda dengan prosa. Semangat pemberontakan terhadap penjajah yang disulut apinya oleh Bung Karno rupanya menjadi salah satu pendorong Chairil Anwar untuk membebaskan puisi dari segala ikatan lampau.

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh

(Persetujuan dengan Bung Karno, Chairil Anwar, 1948)

Puisi-puisi Chairil Anwar hanya mementingkan isi atau makna, sedang unsur bentuk kurang diutamakan. Intensitas makna yang diekspresikan dirasa lebih penting daripada wujud untaian kata-kata dalam kesatuan, pola, dan gaya tertentu. Untuk mencapai makna yang sedalam mungkin, bentuk penulisan hanya mengikuti. Bentuk harus menyesuaikan dengan isi, bukan sebaliknya. Puisi Chairil berikut ini menunjukkan dengan jelas sikap tersebut.

Doa

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar sasah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

Aku mengembara ke negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

(Chairil Anwar, 13 November 1943)

Dalam puisi di atas tidak dapat dicari rujukan model bentuk yang mana pun dalam puisi lama maupun puisi baru yang diimpor dari sastra asing. Semua ikatan bentuk konvensional telah ditinggalkan. Chairil Anwar hanya mengutamakan maksud yang ingin disampaikan, yaitu keinginannya untuk kembali ke jalan benar setelah sekian lama jatuh bangun memungkiri ajaran Tuhan. Untuk mencapai maksud itu dia tidak mengikuti pola yang lazim masa sebelumnya, dan terutama pilihan kata dan bunyi diabdikan demi intensitas penyampaian makna puisi. Misalnya, bunyi /u/ pada kata uhanku, termangu, namaMu, sungguh, penuh, seluruh (bait I); bentuk, remuk (bait II); dan bunyi /i/ pada kata suci, kerdip, lilin, sunyi (bait III) setelah dipilih dan diciptakan untuk mendukung maksud penyair sebagaimana diisyaratkan pada setiap bait.

Hingga sekarang bentuk puisi yang dirintis oleh Chairil Anwar masih menjadi anutan banyak penyair mapan maupun pemula. Rupanya bentuk itulah yang paling mengena. Memang, setelah angkatan Chairil Anwar, juga beberapa kali diluncurkan model-model yang lebih baru, misalnya puisi kontemporer yang dipelopori oleh Sutardji Colzoum Bachri dan Ibrahin Sattah (1970-an – 1980-an). Kedua tokoh ini –terutama Sutardji- mencoba mengangkat anasir sastra kuno, yaitu mantra, utuk membagun kreativitasnya. Mereka juga mencoba menggunakan pola tipografi sebagai sarana pengungkap makna. Namun semua itu seolah hanya sekedar karya eksperimental yang hanya layak menjadi pengisi kegiatan di laboratorium percobaan. Masyarakat luas kurang bisa mengapresisasi. Penyair-penyair pelanjut yang kini dapat diangap berkibar di masyarakat, seperti W.S. Rendra, Taufik Ismail, Gunawan Muhammad, Subagio Sasrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Ramadahan K.H, Abdul Hadi W.M, K.H. Mustofa Bisri, hingga Sosiawan Leak, dapat dikatakan masih menggunakan bentuk puisi yang dirintis Chairil Anwar, walaupun mungkin menyelingi ekspresinya dengan mengadopsi model-model yang diperkenalkan para tokoh kontemporer. Sekali lagi itu hanya selingan, sedang arus utamanya adalah masih berkiblat pada Chairil Anwar.

Mau Belajar

Kepeloporan Chairil Anwar merupakan hasil nyata dari sifat dan sikapnya yang tidak enggan untuk belajar. Dalam kondisi keserbakekurangan hidup di zaman revolusi, dia tak pernah kehabisan akal untuk memperoleh berbagai bacaan demi memenuhi hasranya untuk mengetahui lebih banyak dan mendalami lebih jauh perkembangan kesusastraan dunia. Toko-toko buku bekas biasanya menjadi sasaran utama pencarian Chairil Anwar. Maklum itulah pilihan termudah dan termurah zaman itu. Apalagi saat itu setelah Jepang mengusir Belanda dari Indonesia, banyak buku milik Belanda yang disita Jepang dan dilempar ke pasar loak. Ini justru menjadi kesempatan emas bagi Chairil Anwar untuk lebih jauh menyelami dunia sastra. Chairil dan teman-temannya rajin mengunjungi toko buku loak untuk memilih buku-buku yang dia anggap bermanfaat. Di sana pula dia bertemu dengan banyak orang yang beberapa di antaranya turut menjadi besar dalam dunia sastra, yaitu Asrul Sani dan Rivai Apin (Tiga Serangkai yang kemudian menerbitkan kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir).

Menurut Asrul Sani, Chairil Anwar banyak membaca karya-karya Andre Gide, John Steinbeck, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway, WH Auden, Conrad Aiken, John Conford, Hsu Chih-Mo, Archibald MacLeish, Willem Elsschot, H. Marsman, Edgar du Perron, J. Slauerhoff, dan lain-lain. Berbagai karya sastra yang tersebut di atas hanya sebagian dari bacaan-bacaan yang diserap Chairil Anwar demi memajukan pemahamannya mengenai sastra dan pengetahuan umum lainnya. Semakin luas bacaan seseorang menunjukkan semakin intensif dia belajar. Kalaupun beberapa bagian dari karya-karya dunia itu kemudian mempengaruhi ciptaannya sendiri, tidak ada yang perlu digugat. Seperti yang terjadi pada Chairil Anwar, demikian besarnya pengaruh itu sehingga alat-alat perbandingan dan ungkapan kedua penyair itu di sana-sini terpakai olehnya, mungkin dengan sadar dipakainya, untuk menyatakan apa yang ingin dieskpresikannya. Namun demikian, adanya pengaruh itu jangan lantas menjadi alasan menghakimi puisi-puisi Chairil Anwar sebagai tidak orisinal.

Banyak orang pernah mempermasalahkan itu semua sebagai plagiasi atau sekedar pengaruh. Memang tak bisa disangkal bahwa pengaruh-pengaruh itu ada pada Chairil, tetapi pengaruh-pengaruh ini sudah demikian meresap dalam jiwanya sehingga dalam menciptakan kembali pengaruh itu terjalin secara organis dalam hasil seninya (H.B. Jassin, 1985). Itu semua tetap dapat dianggap asli, seperti kalau kita mengatakan bahwa seorang arsitek yang telah merancang dan membuat suatu gedung baru nan indah megah. Padahal unsur-unsur kemegahan dan keindahan gedung itu adalah hasil mencomot-comot berbagai ide dari banyak model gedung yang telah dibangun arsitek pendahulunya. Tidak beda pula dengan kita yang sering dipuji karena membangun sebuah rumah yang amat indah, padahal kita tahu persis ide dasarnya merupakan gabungan dari model rumah Spanyol, Gedung Putih, dan Istana Keraton Solo. Tidak ada yang salah dengan mengadaptasi ide orang lain sebagai salah satu unsur dalam ide baru yang kita bangun.

Memang begitulah perkembangan ilmu dan seni, yang ternyata merupakan tumpukan dan rombakan ide-ide lama yang diramu kembali menjadi jalinan baru, kemudian ditambahi dan disempurnakan dengan ide baru. Asalkan, unsur pengaruh itu hanya pelengkap atau pendukung sedangkan esensinya tetap harus menyajikan suatu pemikiran atau penemuan baru yang orisinal. Begitu pula dengan Chairil Anwar yang tidak bisa dianggap pencuri hanya karena beberapa bagian puisinya sama atau mirip dalam cara pengungkapan dengan penyair lain yang pernah ia baca dan pelajari karyanya. Jika sesuatu yang telah kita pelajari kemudian meresap ke dalam jiwa kita -mengalami proses internalisasi- dan telah menjadi bagian dari diri kita, kepribadian kita, sifat dan karakter kita, maka itu telah sah sebagai sesuatu milik kita. Suatu kepribadian kita. Semua orang mengembangkan kepribadian dirinya dengan menyerap berbagai pengaruh dari lingkungannya. Lingkungan yang membentuk kepribadian itu mencakup pendidikan, bacaan, pemikiran, pergaulan, situasi dan kondisi zaman. Itu semua adalah pengalaman lahir dan batin yang kemudian menjelma menjadi sesuatu yang unik, khas milik seseorang setelah melalui proses perenungan, pengolahan, dan pematangan dalam jiwanya.

Selain banyak belajar dari khasanah sastra asing, Chairil Anwar juga tidak melepaskan perhatiannya kepada perkembangan sastra Indonesia zaman sebelum dia. Sejak duduk di bangku sekolah rendah Chairil Anwar sudah menulis puisi dalam ragam dan gaya Pujangga Baru. Akan tetapi, karya-karya tersebut tidak memuaskan hatinya, sehingga dibuang. Silang-menyilang diskusi kaum intelektual terkemuka saat itu juga tidak lepas dari perhatiannya sebagai sumber belajar. Kalau kita membaca kembali buku tulisan Achdiat K. Mihardja yang berjudul Polemik Kebudayaan (1948), saat itu terjadi polemik hebat yang melibatkan para cendekiawan papan atas saat itu, seperti Ki Hajar Dewantara, Dr. Poerbatjaraka, Dr.M.Amir, Tjindarbumi, Sanoesi Pane, Adinegoro, dan Dr. Soetomo. Semua tokoh itu adalah secara bergantian menanggapi wacana Sutan Takdir Alisyahbana yang dengan gigihnya mendengungkan konsep kebudayaan baru untuk Indonesia. Polemik mereka sebenarnya juga imbas dari pertikaian pemikiran-pemikiran besar yang sedang melanda dunia saat itu. Itu semua tak lepas dari simakan Chairil Anwar. Sehingga semakin kayalah Chairil Anwar dengan berbagai masukan dan tentunya menjadi bagian yang membentuk pola pikir dan konsep keindahan kreativitas puisinya.

Dengan berbekal semua yang telah dia pelajari itu, Chairil Anwar akhirnya menarik garis tegas dalam konsep kepenyairan dan berkebudayaan, seperti yang tersurat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang (majalah Siasat, 22 Oktober 1950). Di situ dengan tegas dia mengumumkan bahwa angkatannya adalah pewaris sah kebudayaan dunia dan akan meneruskan warisan itu dengan cara mereka sendiri. Chairil Anwar tidak setuju dengan pendirian para tokoh saat itu yang mengembangkan konsep kebudayaan Indonesia sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah. Konsep itu baginya tidak lebih dari sekedar meneruskan hasil karya generasi pendahulu yang belum tentu sesuai dengan selera zaman baru. Kebudayaan Indonesia masa kini bukanlah sekedar hasil pelestarian produk budaya nenek moyang. Setiap generasi harus memiliki corak tersendiri dalam berkarya –temasuk dalam sastra- yang tentunya sesuai dengan tantangan zaman saat itu. Dengan kesadaan semacam inilah, maka Chairil Anwar dengan sadar meninggalkan segala ikatan masa lalu dalam berpuisi seperti yang dipraktikkan oleh penyair-penyair Pujangga Baru. Garis tegas itu juga dapat diketahuai lebih jauh jika kita membaca salah satu tulisannya berjudul Hoppla! yang berupa prosa.

Prosa pendek itu keculai menunjukkan ketegasan sikap kepenyairannya, juga menunjukkan banyak aspek lain dalam pribadi Chairil Anwar. Dari keluasan rujukan, pilihan kata, dan jalinan logika menunjukkan betapa dia adalah seorang yang sangat cerdas dan mengerti betul dunia kesastraan. Dia amat paham kronologis perkembangan perpuisian angkatan sebelumnya. Dia mengetahui kelebihan dan keunggulan Pujangga Baru yang dirajai oleh Amir Hamzah. Ia akui peran dan sumbangan pemikiran dan konsep baru dalam perpuisian Amir Hamzah, suatu bukti kebesaran jiwa yang hanya mungkin muncul dari seseorang yang kaya pengalaman dan banyak belajar. Namun, Chairil Anwar juga secara cerdas mengritisi puisi-puisi Amir Hamzah sebagai sesuatu yang terkungkung pada tradisi lama. Banyak puisi Amir Hamzah yang masih menggunakan tema dan idiom-idiom lama bersumber dari budaya Melayu asal-usul Amir Hamzah sendiri. Orang hanya akan memahami puisi Amir Hamzah kalau mengerti latar belakangnya sebagai orang Melayu dan orang Islam. Walaupun Chairil Anwar menilai Amir Hamzah telah merintis pembaharuan dan perkembangan bahasa Indonesia lewat sajak-sajaknya, namun dalam banyak hal karya-karya Amir Hamzah masih sangat terikat kekangan aturan lama yang membelenggu proses berkreasi. Puisi-puisi angkatan sebelumnya, terutama Pujangga Baru, dikritisinya sebagai keterkungkungan pada tradisi lama. Aturan jumlah bait, baris, kata, suku kata, dan pola irama masih diikuti. Untuk itulah, dia menyeruakkan Hoppla! mengajak rekan-rekannya melompat jauh meninggalkan segala ikatan menuju kebebasan kata dari segala ikatan.

Kesungguhan dalam Bekerja

Kalau kita bersetuju dengan Romo Mangunwijaya yang menyatakan bahwa orang Indonesia akan sulit melahirkan karya sastra besar karena adanya sifat sakmadyo, maka terhadap Chairil Anwar harus dikecualikan. Memang sangat masuk akal kata-kata Romo Mangun yang menyangsikan kemampuan bangsa kita untuk memperoleh nobel kesusastraan, misalnya, karena kita memiliki mentalitas seperti itu. Karya-karya sastra kita hanya akan sakmadyo, paling-paling kelas karya populer, tidak, serius tapi diminta agar menimbulkan rasa nikmat (1988: 131-132). Sebab, untuk menghasilkan karya besar diperlukan kerja serius dan sungguh-sungguh. Keseriusan dan keseungguhan itulah yang umumnya tidak ada pada kita, kecuali beberapa gelintir orang seperti Chairil Anwar.

Dalam prosa-prosanya yang tidak terlalu banyak, Chairil Anwar sering menekankan sikap sungguh-sungguh dalam berkarya. Bekerja dengan semangat setengah-setengah hanya akan menghasilkan karya improvisasi yang bermutu rendah. Dia selalu menyanjung-nyanjung betapa Beethoven dan Mozart –dua seniman besar di bidang musik- menghabiskan waktu bertahun untuk menyelesaikan setiap komposisinya, dan itu terbukti kebesarannya hingga kini. Menjadi sastrawan bagi Chairil Anwar tidak boleh setengah-setengah. Kecuali dilandasi proses belajar seperti yang dia lakukan, sastrawan adalah seorang pionir yang maju di garda paling depan dalam perubahan sosial. Dia harus pandai membedah segala sesuatu yang dihadapinya untuk memperoleh pemahaman baru sebagai bahan penciptaan yang baru. Tidak boleh ada yang tersembunyi dalam analisis seorang sastrawan, segala ketabuan boleh dilanggar demi menemukan kebenaran. Dan untuk itu tentu diperlukan kesungguhan bekerja.

Kecintaan Chairil Anwar dalam dunia sastra telah dibuktikannya lewat kerja all out dalam bidang itu. Hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari karya-karya besar sastra dunia. Waktunya berjam-jam sehariannya habis digunakan untuk diskusi-diskusi kesusastraan dan kebudayaan. Kurus kering badannya karena tenaga terkuras untuk mengurus kegiatan bersastra, mulai dari mengulas karya orang lain, mengelola penerbitan, hingga berkarya. Kecintaan dan kesungguhan itu telah membawanya menjadi penyair besar yang mendunia, terbukti dengan beberapa terjemahan karyanya antara lain The Selected Poems of Chairil Anwar (1970), The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (1974) keduanya hasil terjemahan Burton Raffel, The Complete Poems of Chairil Anwar (1974) oleh Liauw Yock Fang, serta dalam bahasa Jerman Feuer und Asche oleh Walter Karwath. Belum lagi kumpulan karya-karyanya yang terbit dalam bahasa Indonesia.

Masih adakah kini orang yang dengan sadar memilih terjun ke dunia sastra dengan semangat total mengabdi seperti Chairil Anwar? Sedangkan seorang sastrawati dari Jawa Tengah yang cukup produktif -N.H. Dini- saja pernah mengeluh (Suara Merdeka, … Maret 2006). Di masa tuanya kini, N.H. Dini merasa kurang beruntung sebagai sastrawan karena tidak mendapat perhatian sepantasnya dari pemerintah. Dia yang selama ini mengabdikan diri bagi kepentingan dunia sastra dan pendidikan, berbagai novel dan cerpennya menjadi bagian dari khasanah kebudayaan tulis Indonesia, perpustakaan-perpustakaan sekolah dan universitas banyak memanfaatkannya, ternyata di masa tua ketika biaya hidup semakin tinggi semua karya yang diabdikannya itu tidak dapat menjamin kelayakan hidup yang sepadan dengan kebesaran namanya. Padahal kebesaran namanya selain untuk dirinya sendiri juga demi besarnya dunia sastra Indonesia. N.H. Dini memang berhak mengeluh seperti itu, sebab ketika banyak anak bangsa dalam berbagai profesi memperoleh prioritas perhatian dari pemerintah, sampai sekarang belum ada yang bersuara agar para sastrawan nasibnya diperhatikan.

Iklim yang seperti ini sebenarnya harus membuat kita semakin sadar bahwa apa yang dilakukan Chairil Anwar dulu memang tergolong kenekatan yang luar biasa. Penulis tidak bermaksud merendahkan N.H. Dini yang berkeluh kesah seperti itu, karena memang benar adanya. Akan tetapi, semangat Chairil Anwar mungkin perlu direvitalisasi. Revitalisasi itu berbentuk semangat penyuaraan agar sastrawan diperlakukan adil. Bayangkan saja, untuk sebuah kerja kreatif menulis cerpen atau novel, jika berhasil terbit, seorang sastrawan hanya berhak memperoleh 10% sebagai royalti dan itu pun masih dipotong pajak penghasilan sebesar 10% dari total royalti. Padahal sastrawan tidak memperoleh gaji bulanan. Bila Chairil Anwar hidup di masa sekarang ketika politisi, pejabat, pengusaha, guru/dosen, kaum profesional lain, dan bahkan para buruh pabrik menuntut kenaikan upah, mungkin dia akan berteriak lantang, selantang puisinya yang berjudul Aku. Pembaca bayangkan sendiri bagaimana puisi itu jadinya.

Tetapi beginilah rupanya, dunia sastra memang penuh nestapa. Hanya orang nekat seperti Chairil Anwar saja yang dengan sadar mau menggelutinya secara total. Buktinya, banyak sastrawan kita sekarang sebenarnya hanya menekuninya sebagai pekerjaan sambilan. Mereka tidak semata-mata sebagai sastrawan, sebaliknya kerja kesastraan hanya kesibukan sampingan atau pengisi waktu luang. Umumnya, sastrawan kita sekarang adalah profesor (Umar Kayam), Abdul Hadi WM (dosen), guru (Supriyadi, cerpenis Jawa Tengah), pekerja pabrik (Taufik Ismail), Gus Mus (pengasuh pesantren), Zawawi Imron (dai), Gunawan Muhammad (wartawan) dan lain-lain. Kalau diadakan penelitian, dugaan penulis mungkin benar, bahwa sebagian besar penulis/sastrawan Indonesia adalah guru/dosen atau wartawan. Memang sungguh gila jika zaman sekarang ada orang yang dengan sadar berani menjadi sastrawan seratus persen seperti Chairil Anwar dulu. Ini suatu bukti, bahwa tokoh seperti Chairil Anwar memang langka (dalam arti positif).

Mampu Mentransfer Pengalaman Pribadi Menjadi Universal

Di balik nama besar itu, ternyata Chairil Anwar hanyalah seorang manusia biasa. Sebagai manusia biasa, Chairil Anwar banyak mengalami peristiwa sehari-hari yang tidak jarang mengecewakan. Hanya saja, perbedaannya adalah terletak pada kemampuan setiap pribadi dalam mengelola pengalaman batin itu. Tidak semua orang mampu mentransfer pengalaman batin individual menjadi sesuatu yang bergema universal. Kemampuan ini merupakan karakteristik orang-orang besar. Pangeran Diponegoro dan banyak pahlawan lain, Affandi dan banyak seniman lain, atau bakan para guru kebatinan atau tasawuf. Mereka mula-mula mengalami suatu peristiwa yang melanda dirinya. Diponegoro memulai aksi penentangan terhadap Belanda selaku penjajah karena makam keluarga besarnya digusur oleh pemerintah kolonial itu untuk kepentingan pembuatan jalan. Kekecewaan dan rasa dirugikan diformulasikan menjadi gerakan antipenjajahan. Demikian juga Sidharta Gautama, seorang pangeran yang memilih menjadi pertapa. Pengalaman-pengalaman pribadi selama menderita dalam pertapaan mampu dia transfer menjadi ajaran moral yang bahkan kini menjadi agama. Rupanya, demikianlah yang terjadi dengan Chairil Anwar.

Kita sering terkesima ketika membaca berbagai ulasan karya-karyanya, seolah sosok Chairil Anwar sebagai penyair yang melahirkan karya-karya besar itu adalah bukan manusia biasa. Imajinasi kita menjadi terlalu jauh mengasosiasikan sosok Chairil Anwar seolah tidak lagi membumi. Mungkin ini merupakan reaksi imajinasi yang wajar dari setiap manusia ketika membaca karya-karya yang telah menjadi monumen sepeninggalan penciptanya. Seperti juga ketika kita berimajinasi seolah Bung Karno adalah bukan manusia biasa, ketika kita mempelajari sepak terjangnya dalam sejarah Indonesia. Kita seolah menempatkan setiap tokoh nyata dalam sejarah menjadi karikatur yang asing begitu karya-karya dan sepak terjangnya tertuang dalam monumen yang bernama sastra. Itulah hebatnya pahatan kata-kata yang ternyata mampu memadatkan kesan lebih keras daripada batu.

Tentu tidak salah imajinasi kita bergerak ke arah terlalu dalam asal tidak pleonastis atau bahkan bombastis. Juga tidak salah para pengulas riwayat hidup dan sepak terjang Chairil Anwar ketika menunjukkan proses penciptaan karya-karyanya. Juga sama sekali tidak berlebihan jika para pengkaji puisi-puisi Chairil Anwar yang begitu kreatif menyusun kata-kata untuk menunjukkan betapa hebat pola susun bahasa, nilai rasa, kedalaman makna, dan intensitas semangat yang menggebu-gebu dalam ungkapan-ungkapannya. Namun, tetap ada pula baiknya untuk tetap mencoba menempatkan Chairil Anwar sebagai sosok manusia biasa, seperti orang-orang pada umumnya. Ini penting agar kita tidak terjebak pada pengkultusan yang selanjutnya makin menjauhkan jarak tokoh itu dengan semangat meneladani perjuangannya.

Salah satu ‘keterlanjuran’ kita yang menyalahmaknai dan mengeliruekspresikan hasil karya Chairil Anwar adalah seperti yang diceritakan oleh sahabat karib sekaligus penyair seangkatannya, yaitu Asrul Sani. Ketika kita mencoba membaca puisi berjudul Aku, selalu saja kita mengaitkannya dengan semangat perjuangan. Siswa-siswa kita ajari ekspresi mimik garang ketika mengucapkan baris aku ini binatang jalang­ sambil tangan menepuk dada, mata melotot nanar, suara menghentak menggelegar. Setelah itu tangan menepis ke samping sambil wajah memaling ketika mengucapkan baris dari kumpulannya terbuang. Padahal sajak itu bukanlah ungkapan pemberontakan terhadap kungkungan kebebasan yang diderita Chairil. Menurut Asrul Sani, baris-baris yang terlanjur kita jadikan simbol pemberontakan menuju kebebasan sebenarnya cuma ungkapan pilu hati Chairil Anwar ketika dibujuk ayahnya agar mau kembali ke kota Medan, hidup bersama ayah dan ibu tirinya. Sebab, sajak itu memang lahir setelah ayahnya menceraikan ibunya dan membuat Chairil dan ibunya pergi ke Jakarta membawa duka, sedih, dan perih di hati. Chairil memilih menemani ibunya hidup di Jakarta daripada tinggal bersama ibu tiri dan seorang ayah kandung yang telah mengkhianati ketulusan cinta ibu yang melahirkannya. Ini sungguh suatu perilaku biasa yang boleh jadi dialami banyak orang lain yang menghadapi situasi serupa. Suatu perilaku yang tidak istimewa. Namun, menjadi istimewa jika pengalaman individual itu berhasil diformulasikan menjadi sesuatu yang universal. Universalitas itu dapat menyangkut rasa, semangat, dan keindahan yang dihayati orang lain yang mendengar atau membacanya.

Pengalaman pribadi sebagai anak yang dikecewakan ayahnya oleh Chairil Anwar ditransfer menjadi sebuah karya puisi yang kemudian menjadi simbol perubahan zaman. Sampai saat ini banyak orang masih menganggap Chairil Anwar sebagai sosok pembaharuan sosial. Berangkat dari pengalaman pribadi dan dengan cerdas membaca suasana zaman peralihan, hasilnya secara indah dan universal berupa sebuah puisi yang lengkapnya adalah sebagai berikut:

Aku

Kalau sampai waktuku

‘Kumau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

(Chairil Anwar, Maret 1943)

Sekali lagi, penulis tidak bermaksud mengajak para pembaca puisi mengubah ekpresi mimik dan pantomimik yang selama ini menggunakan tangan terkepal teracu menyuarakan semangat perubahan/pemberontakan, untuk kemudian diganti dengan ekspresi kesedihan dan kekecewaan hati menolak bujukan seorang ayah, sambil menangis tersedu-sedu meng-gelesot duduk di lantai sambil kakinya keroncalan. Sebaliknya, penulis hanya hendak membuktikan bahwa Chairil Anwar telah mampu mengekspresikan penghayatan pengalaman individual menjadi sesuatu yang universal. Universalitas itu tercermin dalam sajak-sajaknya yang memompakan semangat dan cita-cita segar. Kesegaran cita-cita dan semangat yang sejernih mata air, penuh vitalitas menghadapi tantangan kehidupan. Kehidupan yang menuntut diisi dengan karya yang berarti, seperti baris puisinya sekali bearti, suah itu mati (Diponegoro, Chairil Anwar, Feb. 1943).

Sosok Pribadi Yang Kritis dan Bermoral Tinggi

Tak ada yang mudah dalam hidup Chairil Anwar. Ayahnya yang menjadi pegawai negeri pemerintahan Belanda (bahkan kemudian menjadi Bupati) kala itu lebih mementingkan hasrat pribadi untuk kawin lagi. Pelarian ke Jakarta masa itu sama saja menuju ke hidup menggelandang. Ibunya tinggal di sebuah gubug bambu yang menandakan kemelaratan. Chairil menjadi pemuda pembual, banyak omong, kerjanya hanya duduk nongkrong berjam-jam, sekali-kali mengejek teman-temannya sehingga terjadi pertengkaran. Lihat saja fotonya yang kurus ceking sambil menghisap sebatang rokok yang terjepit di antara jari-jari tangan kanannya. Konon matanya merah, wajahnya juga pucat pasi karena kurang tidur dan kurang darah. Bukankah itu suatu ekspresi seorang pemuda yang tidak beruntung, kurang berbahagia karena masa emas kemudaannya dirampas. Padahal kalau dilihat dari semangat belajar untuk maju, Chairil Anwar pada masa itu mungkin berpotensi menjadi orang yang lebih besar dalam kehidupan praktis. Besar bukan dalam arti yang sekarang, cuma pencipta deretan-deretan kata yang betapapun banyak sastrawan memujinya, namun lebih banyak lagi orang yang tak memahaminya. Apa sih puisi, untuk apa sih puisi. Seperti umumnya siswa sekarang ketika diajak mempelajari puisi.

Kekecewaan dan keterjepitan hidup tidak membuat Chairil Anwar jatuh dalam mental rendah yang suka menerobos jalan pintas, walaupun dia memiliki peluang untuk itu. Pamannya yang bernama Sutan Syahrir saat itu menjabat Perdana Menteri, tetapi Chairil Anwar ternyata tidak tergoda untuk meminta pekerjaan/jabatan untuk kepentingan diri pribadinya. Adakah orang zaman sekarang yang bermoral demikian tinggi?

Banyak orang mengatakan Chairil Anwar kurang ajar dan tak mengenal sopan-santun. Dalam mengeritik orang lain dia senantiasa terus terang tak peduli orang itu akan tersinggung atau bahkan marah. Para psikolog mungkin akan menyimpulkan bahwa sikap seperti itu sebagai pelarian dari ketidakbahagiaannya. Namun, terlepas dari pelarian atau bukan, yang jelas kemudian membuat pribadi Chairil Anwar tumbuh menjadi seorang yang kritis dalam melihat segala sesuatu. Dia sering mengupas watak dan terutama kelemahan orang lain sampai sedalam-dalamnya. Dalam berpuisi pun, sifat kritis itu berbuah positif seperi intensifnya dia menggali makna setiap kata yang dirangkai menjadi puisi. Dengan demikian dapat di mengerti kalau dia pernah mengatakan, ... puisiku tiap kata akan kugali-korek sedalamnya hingga ke kernwoord, ke kernbeeld.

Kadangkala, kekritisannya dalam memandang orang lain atau segala persoalan yang dihadapi cenderung bersikap sinis. Seolah dia tak pernah terpuaskan oleh segala sesuatu. Baginya semua hal terasa mengecewakan, tidak ada yang beres. Watak demikian ini biasanya memang lahir dari keluarga broken home, anak bermasa kecil kurang bahagia. Kekecewaan atas perilaku orang tuanya terinternalisasi dalam jiwanya sehingga dia pun menjadi manusia yang serba kecewa, sinis, tak mudah terpuaskan, dan pemberontak. Itu semua yang rupanya kemudian diungkapkan menjadi tema-tema dalam puisinya. Meskipun kemudian semua itu dia bungkus dengan kata-kata puitis yang indah dan diperhalus menjadi rangkaian ide yang universal, bukan lagi luapan kemarahan pribadi yang sempit. Orang bisa saja menganggap itu negatif, namun ada juga yang menilai kesinisan dan keterusterangan yang terlalu jujur itu dapat mendorong semangat untuk lebih baik. Paling tidak itu diakui teman-teman Chairil sendiri yang merasakan dapat mengerti dan justru merasa beruntung bahwa ada kritikan Chairil Anwar yang memicu semangatnya.

Terlepas dari setuju atau tidak setuju, itulah rupanya Chairil Anwar yang dalam usia kehidupannya yang pendek mampu menjadi pioner perubahan. Tidak mudah menjadi seperti dia. Bahkan di masa sekarang pun, ketika banyak orang mendambakan perubahan. Betapa sulit berubah karena perubahan dapat berarti menuju ke situasi yang tidak menentu, atau justru dapat mengancam kestabilan hidup bagi yang dalam kondisi status quo (ingin selalu mapan, adem-ayem, tenteram). Mungkin memang sudah saatnya semangat pendobrakan yang pernah dihembuskan Chairil Anwar kita teriakkan lagi. Kalau kita memujanya sebagai tokoh pembaharuan, seharusnya pula kita konsisten meneruskan cita-citanya. Jangan sampai keragu-raguan Chairil Anwar seperti yang terungkap dalam puisinya ini menjadi sindiran bagi kita, bahwa kita memang pada dasarnya enggan dan takut berubah.

Perahu melancar, bulan memancar

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tak ‘kan sampai padanya

(Cintaku Jauh di Pulau, Chairil Anwar, 1946)

Jadi, kalau memang kita ingin berubah, maka jangan setengah-setengah. Perubahan telah bermula dan harus berlanjut hingga ke tujuan akhir. Jangan sampai cita-cita Indonesia Baru hanya seperti cintaku jauh di pulau, gadis manis sekarang iseng sendiri. Ataukah kita akan sama dengan putri tunggal sang penyair itu -Evawani Alissa Ch. Anwar- yang justru tersenyum sinis sambil berbisik nakal ‘Kasihan deh elo, Chairil!”. Sebab perjuangannya tidak ada yang meneruskan. *****

----------

DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, Sutan Takdir. 1977. Perjuangan, Tanggung Jawab dalam Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Jaya

Anwar, Chairil. 1999. Derai-derai Cemara. Jakarta: Yayasan Indonesia

Ismail, Taufiq. 2000. Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: Yayasan Indonesia

Jassin, HB. 1996. Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru. Jakarta Grassindo

Jassin, HB. 1985. Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45. Jakarta: Gunung Agung

Jassin, HB. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai 1. Jakarta: Balai Pustaka

Jassin, HB. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai 2. Jakarta: Balai Pustaka

Jassin, HB. 1985. Kesusastraan Indoneisa Modern dalam Kritik dan Esai 3. Jakarta: Balai Pustaka

Jassin, HB. 1975. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Rreligiositas, Yogyakarta: Kanisius

Mihardja, Achdiat K. 1977. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya

Surana. 2001. Garis Besar Sejarah Sastra Indonesia Lama. Solo: Tiga Serangkai

Surana. 2001. Pengantar Sastra Indonesia. Solo: Tiga Serangkai

Suroso. 1999. Ikhtisar Seni Sastra. Solo: Tiga Serangkai

Waluyo, Herman. J, 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga

Penulis adalah Guru Bhs. dan Sastra Indonesia

SMA N 1 Sumber Kab. Rembang, Jawa Tengah

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Setelah membaca saya jadi sedikit tau tentang C. Anwar.
Thanks buat Pak Suhardi.

Salam Ta'zim dari salah satu mahasiswa UT anda.

Jika bapak memerlukan atau memerlukan sesuatu tentang perMeubelan. klik>>
http://bembiz.wordpress.com/2009/09/01/ud-munir-jati/

SUHARDI mengatakan...

Terima kasih, Bemby

Anonim mengatakan...

Artikelnya manstab, Pak.